Friday, February 24, 2012

Lei Jufang,The Spiritual Billionaire

“I am a born idealist. Medical culture is a magical world that can benefit others.” ~ Lei Jufang
http://www.therichest.org/wp-content/uploads/2011/03/Lei-Jufang.jpg 
With no makeup and her graying hair combed into a plait behind her, 58-year-old Lei, who is often seen, dressed in a plain black shirt, looks like a middle-aged woman shopping for vegetables in a market. Yet she is anything but an average housewife. This self-made billionaire runs Tibet Cheezheng Tibetan Medicine, which makes ointments, plasters and powders designed to relieve pain and respiratory problems. Products from her company are seen in most pharmaceutical stores in China, and its users range from ordinary folks to Olympic athletes.
http://malay.cri.cn/mmsource/images/2004/12/02/tibet1.jpgLei was admitted to Jiaotung University in Xian, Shaanxi Province, in 19. She graduated and worked in a science academy in Lanzhou, capital of Gansu. As an assistant professor, she worked out a way to use a vacuum seal to preserve materials such. She was rewarded with fame and money, and a possible promotion within the organization she worked for.

But one thing kept puzzling her: What is the meaning of all the hard work if many scientific results remain in the laboratory?


However, under China’s program of encouraging scientists to commercialize their studies in the laboratory, she set up an industrial pollution control institute in Lanzhou in 1987, which eventually developed into a company earning revenues of millions of Yuan per year. But just when the company started to make enormous profit, Lei was forced to resign from her job in the company because of differences with her colleagues over management.
The setback plunged her into depression and Lei quit the rat race. It seemed there always was a dilemma in her life. The failure of doing business also made her wonder about the true meaning of life. “I started to ask some basic questions, “she added. “For instance, “What is true in life?”
http://tibetmagazine-en.fjnet.com/magazine/2009/01/200902/W020090203652334842754.jpgThe questions drove her to a soul-searching journey to Tibet, a place that she had always wanted to see. There she found the power of religion remains strong and began to learn more about Tibetan Buddhism.
Lei went back to Tibet several times afterward. Learning from lessons of her first business experience, she thought that maybe a good way to do business was to create something that people are seeking for their own good, not others. “People will buy medicine that is good for themselves, but not for others,” says Lei. And she also remembers that when she visited a Buddhist temple in Tibet, she saw a picture on the wall with a drawing of the structure of human body. The structure was as precise as any modern medical school, but it dated back to as many as 200 years ago.

It then dawned on her that Tibetan medicine, combined with modern technology could have huge market potential. The lesson that she learned from these journeys made the medicine business an obvious choice for her, when she considered the next step after the failure of her first attempt. She developed a pain-relieving plaster with Tibetan drugs and her background in vacuum seal preservation allowed her to invent a packaging machine herself rather than trying to buy one for millions of Yuan from another country.

The second problem was how to promote her new product. Lei adopted a grassroots, word-of-mouth approach and sent her staff with free Cheezheng medicine to introduce to their friends and other people, mainly athletes. She recalls that, they sent out medicine worth tens of thousands of Yuan, a huge cost for a startup company.
http://www.wantchinatimes.com/newsphoto/2010-11-04/450/CFP387501047-183531_copy1.jpgBut the immediate loss paid off with quick fame. Her product proved to be highly effective in promoting blood circulation and relieving muscle pain after being tested on players of the Bayi Rockets basketball team, which trained in Lanzhou that year. Praise from Olympic athletes who used the medicine to treat injuries drew interest. The media came and Lei and her company were soon in the limelight.
Today, she employs over 1,000 people, and 98 percent of them are local Tibetans. She says sometimes she has doubts about whether her Buddhist belief is contrary to pursuing profits.
“I was told that as long as your motivation is good and you put your money to good use, it is fine,” she says. As a result, she is investing a large portion of her money to local Tibetan education, to encourage young Tibetan children to become doctors.
http://chinatibet.people.com.cn/mediafile/201004/29/F2010042913573800189.jpg“According to Tibetan medical theory, doctor and medicine can never be apart from one another,” she says. In fact, there are fewer practitioners of Tibetan medicine now. With an aim to make her business sustainable, Lei has also planted a 3,000-meter-high herb plantation of Tibetan herbs for future production.

Born and brought up in poverty-driven Gansu province in northwestern China, Lei says the memory of poverty has never really left her. She always makes sure that the plate in front of her is empty after a meal, and suggests that others do the same. For her, waste is like committing a crime.

Lei says her biggest enjoyment is found in worshipping at Tibetan Buddhist temples. She also plans to work less in a year or so and turn over the management of her company to the young people around her.

“I will have more time to worship after I retire,” she says.

Reference :
http://en.nwp.cn/book/566_28208.shtml
http://www.wantchinatimes.com/news-subclass-cnt.aspx?cid=1602&MainCatID=16&id=20101104000108
http://pitchyourtalent.wordpress.com/2012/02/23/talent-of-the-month-16-lei-jufang/

Thursday, February 23, 2012

Apa Itu Piagam Madinah?

Piagam Madinah (Bahasa Arab: صحیفة المدینه, shahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) di tahun 622.  [1][2] Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas masyarakat Madinah; sehingga membuat mereka menjadi satu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah.

Sebagai produk yang lahir dari rahim peradaban Islam, Piagam Madinah diakui sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban. Di mata para sejarahwan dan sosiolog ternama Barat, Robert N. Bellah, Piagam Madinah yang disusun Rasulullah itu dinilai sebagai konstitusi termodern di zamannya, atau konstitusi pertama di dunia.

KANDUNGAN PIAGAM MADINAH
  • Terdapat 10 Bahagian dan mengandungi 47 Pasal.
  • 23 Pasal peraturan sesama Islam dan 24 Pasal tentang orang Yahudi.
  • Makna secara umum adalah:
  1. Mengakui Nabi Muhammad SAW, ketua Negara Madinah.
  2. Mengakui Ansar dan Muhajirin sebagai umat yang bertanggungjawab terhadap agama, rasul dan masyarakat.
  3. Setiap kaum bebas beragama dan mengamalkan cara hidup masing-masing.
  4. Orang Islam dan Yahudi bertanggungjawab terhadap keselamatan Negara daripada serangan musuh.
  5. Orang Yahudi dibenarkan hidup dengan cara mereka serta menghormati orang Islam tetapi tidak dibenarkan melindungi orang Musyrikin Quraisy.
  6. Setiap masyarakat bertanggungjawab menjaga keselamatan dan mengekalkan perpaduan di Madinah.
  7. Setiap individu tidak boleh menyakiti dan memusuhi individu atau kaum lain. Hendaklah tolong-menolong demi pembangunan, ekonomi, dan keselamatan.
  8. Setiap kaum perlu merujuk Rasulullah SAW (ketua negara) jika berlaku perbalahan.
  9. Mana-mana pihak dilarang berhubungan dengan pihak luar terutama Musyrikin Mekah dan sekutu mereka.
  10. Piagam ini mempunyai kuasa melindungi pihak yang mempersetujuinya dan hak mengambil tindakan pada sesiapa yang melanggarnya.

    PIAGAM MADINAH
Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah Saw., di kalangan Mukminin dan Muslimin (yang berasal dari) Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikui mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka. Penjalasan dibawah ini telah disesuaikan dengan pengertian pembagian pasal dan ayat dari sudut pandang hukum negara modern. Untuk teks naskah asli yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dapat dilihat pada bagian berikutnya.


MUKADDIMAH

Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “Inilah Piagam Tertulis dari Nabi Muhammad SAW dikalangan Orang-orang yang beriman dan memeluk Islam (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka.”

I. PEMBENTUKAN UMMAT

Pasal  1
Sesungguhnya mereka satu bangsa dan negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.

II. HAK ASASI MANUSIA

Pasal 2
Kaum Muhajirin dari Quraisy ttp mempunyai hak asli mereka, saling tanggung-menanggung, membayar dan menerima wang tebusan darah (diyat)kerana suatu pembunuhan, dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang beriman.

Pasal 3 
1. Banu ‘Awf (dari Yathrib) tetap mempunyai hak asli mereka, tanggung menanggung wang tebusan darah (diyat).
2. Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan wang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.

Pasal 4  
1. Banu Sa’idah (dari Yathrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung menanggung wang tebusan mereka.
2. Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan wang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.

Pasal 5
1. Banu Al-Harts (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, saling tanggung-menanggung untuk membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 6 
1. Banu Jusyam (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 7
1. Banu Najjar (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) dengan secara baik dan adil. 
2. Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang beriman.

Pasal 8 
1. Banu ‘Amrin (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 9 
1. Banu An-Nabiet (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 10 
1. Banu Aws (dari suku Yathrib) berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar wang tebusan darah (diyat) di antara mereka. 
2. Setiap keluarga (tha’ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.



III. PERSATUAN SEAGAMA


Pasal 11
Sesungguhnya Mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang diantara mereka tetapi membantunya dengan baik dalam poembayaran tebusan atau diat.
Pasal 12
Tidak seorang pun dari orang-orang yang beriman dibolehkan membuat persekutuan dengan teman sekutu dari orang yang beriman lainnya, tanpa persetujuan terlebih dahulu dari padanya.

Pasal 13
1. Segenap orang-orang beriman yang bertaqwa harus menentang setiap orang yang berbuat kesalahan , melanggar ketertiban, penipuan, permusuhan atau pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang beriman.
 2. Kebulatan persatuan mereka terhadap orang-orang yang bersalah merupakan tangan yang satu, walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri.

Pasal 14
1. Tidak diperkenankan seseorang yang beriman membunuh seorang beriman lainnya karena lantaran seorang yang tidak beriman.
2. Tidak pula diperkenankan seorang yang beriman membantu seorang yang kafir untuk melawan seorang yang beriman lainnya.

Pasal 15
1. Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang lemah.
2. Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan sesama mereka daripada (gangguan) manusia lain



IV. PERSATUAN SEGENAP WARGANEGARA


Pasal 16
Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapatkan bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.


Pasal 17
1. Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu.
2. Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.


Pasal 18
Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita, merupakan tantangan terhadap semuanya yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan.


Pasal 19
1. Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas tiap-tiap darah yang tertumpah di jalan Tuhan.
2. Setiap orang beriman yang bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik dan kuat.


Pasal 20
1. Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman (musyrik) terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy, tidaklah diakui.
2. Campur tangan apapun tidaklah diijinkan atas kerugian seorang yang beriman.


Pasal 21
1. Barangsiapa yang membunuh akan seorang yang beriman dengan cukup bukti atas perbuatannya harus dihukum bunuh atasnya, kecuali kalau wali (keluarga yang berhak) dari si terbunuh bersedia dan rela menerima ganti kerugian (diyat).
2. Segenap warga yang beriman harus bulat bersatu mengutuk perbuatan itu, dan tidak diizinkan selain daripada menghukum kejahatan itu.


Pasal 22
1. Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya kepada Tuhan dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan memberikan tempat kediaman baginya.
2. Siapa yang memberikan bantuan atau memberikan tempat tinggal bagi pengkhianat-pengkhianat negara atau orang-orang yang salah, akan mendapatkan kutukan dan kemurkaan Tuhan di hari kiamat nanti, dan tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.


Pasal 23
Apabila timbul perbezaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan) Muhammad SAW.

V. GOLONGAN MINORITAS
Pasal 24
Warganegara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.

Pasal 25
 1. Kaum Yahudi dari suku ‘Awf adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan warga yang beriman.
2. Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka.
3. Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri.
4. Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.

Pasal 26
Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Awf di atas

Pasal 27 Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Awf di atas

Pasal 28 Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Awf di atas

Pasal 29 Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Awf di atas

Pasal 30 Kaum Yahudi dari Banu Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Awf di atas

Pasal 31
1. Kaum Yahudi dari Banu Tsa’labah, diperlakukan sama seperti kaum yahudi dari Banu ‘Awf di atas
2. Kecuali orang yang mengacau atau berbuat kejahatan, maka ganjaran dari pengacauan dan kejahatannya itu menimpa dirinya dan keluarganya.

Pasal 32
Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa’labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa’labah

Pasal 33
1. Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu ‘Awf di atas. 2. Sikap yang baik harus dapat membendung segala penyelewengan.

Pasal 34
Pengikut-pengikut/sekutu-sekutu dari Banu Tsa’labah, diperlakukan sama seperti Bani Tsa’labah.

Pasal 35 Segala pegawai-pegawai dan pembela-pembela kaum Yahudi, diperlakukan sama seperti kaum Yahudi.


VI. TUGAS WARGANEGARA

Pasal 36
1. Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad SAW
2. Seorang warga negara dapat membalaskan kejahatan luka yang dilakukan orang kepadanya
3. Siapa yang berbuat kejahatan, maka ganjaran kejahatan itu menimpa dirinya dan keluarganya, kecuali untuk membela diri
4. Tuhan melindungi akan orang-orang yang setia kepada piagam ini

Pasal 37
1. Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin memikul biaya negara 2. Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin pembelaan untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta dari piagam ini
3. Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati dan berbuat kebajikan, dan menjauhi segala dosa
4. Seorang warga negara tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang dibuat sahabat/sekutunya
5. Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang/golongan yang teraniaya

Pasal 38
Warga negara kaum Yahudi memikul biaya bersama-sama warganegara yang beriman, selama peperangan masih terjadi
VII. MELINDUNGI NEGARA
Pasal 39
Sesungguhnya kota Yatsrib, Ibukota Negara, tidak boleh dilanggar kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini

Pasal 40 Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai diri-sendiri, tidak boleh diganggu ketenteramannya, dan tidak diperlakukan salah

Pasal 41 Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketenteraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya

VIII. PIMPINAN NEGARA

Pasal 42
1. Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau terjadi pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya menurut (hukum ) Tuhan dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad SAW
2. Tuhan berpegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia kepadanya

Pasal 43
Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala orang yang membantu mereka

Pasal 44
Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk menentang setiap agresor yang menyergap kota Yathrib

IX. POLITIK PERDAMAIAN

Pasal 45
1. Apabila mereka diajak kepada pendamaian (dan) membuat perjanjian damai (treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai
2. Setiap kali ajakan pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman harus melakukannya, kecuali terhadap orang (negara) yang menunjukkan permusuhan terhadap agama (Islam)
3. Kewajiban atas setiap warganegara mengambil bahagian dari pihak mereka untuk perdamaian itu

Pasal 46
1. Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk kebaikan (pendamaian) itu
2. Sesungguhnya kebaikan (pendamaian) dapat menghilangkan segala kesalahan

X. PENUTUP

Pasal 47
1. Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas dirinya
2. Sesungguhnya Tuhan menyertai akan segala peserta dari piagam ini, yang menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya
3. Sesungguhnya tidaklah boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi orang-orang yang dhalim dan bersalah
4. Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian (keluar), adalah aman
5. Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali orang-orang yang dhalim dan berbuat salah
6. Sesungguhnya Tuhan melindungi orang (warganegara) yang baik dan bersikap taqwa (waspada)
7. Dan (akhirnya) Muhammad adalah Pesuruh Tuhan, semoga Tuhan mencurahkan shalawat dan kesejahteraan atasnya

__________________________________________________________________________

The Madinah Charter/Constitution

In the name of God, the Compassionate, the Merciful

1.  This agreement of Allah’s Prophet, Muhammad, shall apply to the immigrants, Quraysh, the citizens of Yathrib who have accepted Islam, and all such people who are in agreement with the above-mentioned bodies and side with them in war.

2.  Those who are a party to this agreement shall be treated as à body separate from all those who are not a party to this agreement.

3.  The Quraysh migrants are in themselves a party and as in the past shall be responsible for the payment of blood money on behalf of their criminals and shall themselves have their prisoners freed after the payment of ransom. All this process shall be in accordance with the principles of belief and justice.

4.  Banu Auf shall be responsible for their own tribe and shall equally pay their blood money, in accordance with article Ç, and shall themselves be responsible for ransoming their prisoners. All this work shall be completed in conformity with the principles of honesty and justice.

5.  Banu al-Harith shall be responsible for their own tribe and shall jointly pay their blood money, in accordance with article Ç, and shall themselves be responsible for ransoming their prisoners. All this work shall be completed in conformity with the principles of honesty and justice.

6.  Banu Sa’idah shall be responsible for their own tribe and shall jointly pay their blood money, in accordance with article 3, and shall themselves be responsible for ransoming their prisoners. All this work shall be completed in conformity with the principles of honesty and justice.

7.  Banu Jusham shall be responsible for their own tribe and shall jointly pay their blood money, in accordance with article 3, and shall themselves be responsible for ransoming their prisoners. All this work shall be completed in conformity with the principles of honesty and justice.

8.  Banu al-Najjar shall be responsible for their own tribe and shall jointly pay their blood money, in accordance with article 3, and shall themselves be responsible for ransoming their prisoners. All this work shall be completed in conformity with the principles of honesty and justice.

9.  Banu Amr shall be responsible for their own tribe and shall jointly pay their blood money, in accordance with article 3, and shall themselves be responsible for ransoming their prisoners. All this work shall be completed in conformity with the principles of honesty and justice.

10. Banu al-Wabiyyat shall be responsible for their own tribe and shall jointly pay their blood money, in accordance with article 3, and shall themselves be responsible for ransoming their prisoners. All this work shall be completed in conformity with the principles of honesty and justice.

11. Banu al-Aus shall be responsible for their own tribe and shall jointly pay their blood money, in accordance with article Ç, and shall themselves be responsible for ransoming their prisoners. All this work shall be completed in conformity with the principles of honesty and justice.

12. If an indigent person from among the Muslims is guilty of an offense in which blood money becomes due or if à Muslim is taken prisoner and is unable to pay ransom, it shall be incumbent on other Muslims to pay blood money or ransom on his behalf, so as to create virtue and sympathy among the Muslims.

13. No Muslim shall be hostile to à slave set free by another Muslim.

14. It shall be the duty of the Muslims to oppose openly any person who makes mischief, foments riots, makes trouble for people, forcibly takes the property of others, or oppresses others. All the Muslims shall remain united in punishing such a person, even if he is the son of one of their own.

15. Taking the side of an infidel (who is at war), no Muslim shall have the right to kill another Muslim or assist a person who is at war with the Muslims.

16. The promise of Allah, and responsibility and protection for all have the same meaning. This means that if a Muslim gives refuge to someone, it shall be incumbent on all Muslims to honor it regardless of the social status of the Muslim providing refuge. All the Muslims are brethren to one another.

17. It is incumbent on all the Muslims to help and treat sympathetically the Jews who have entered into an agreement with the Muslims. Likewise, the Jews are not to be oppressed in any manner, and neither should their enemy be helped against them.

18. The truce of all the Muslims shall be one: When there is à war the way of Allah, none of the Muslims shall leave aside other Muslims to enter into à peace treaty with an enemy, unless the treaty includes all the Muslims.

19. All the groups who participate in war along with the Muslims shall be afforded an opportunity to rest by turns.

20. The provision of subsistence to the dependants of à Muslim who is martyred in the way of Allah shall be the responsibility of all the Muslims.

21. No doubt all the God-fearing and devout Muslims are on the right path and are the followers of the best way of life.

22. No non-Muslim who is à party to this agreement shall provide refuge to the person or property of any member of Quraysh; no non-Muslim shall assist any other non-Muslim against à Muslim.

23. If someone murders a Muslim and there is a proof against him, the murderer shall be punished. But if the next of kin is prepared to accept blood money, the murderer can be set free after payment. Without any exception, it shall be obligatory on all the Muslims to observe this injunction. Nothing other than the prescribed injunctions shall be acceptable.

24. For à Muslim who accepts the treaty and agrees to abide by it and who believes in Allah and the Day of Judgment, it is permissible neither to create a new practice nor to have dealings with any person who does not respect this treaty. On the Day of Judgment, the curse and wrath of Allah shall descend upon whoever infringes upon this injunction, and no excuse or request for forgiveness shall be accepted by Allah.

25. When there arises a difference of opinion about anything in this agreement, the matter shall be referred for à decision to Allah and Muhammad.

26.  After the treaty, it shall be obligatory on the Jews to render financial assistance to the Muslims when they are at war with an enemy.

27.  The Jews of Banu Auf, who are à party to this agreement and who are supporters of the Muslims, shall adhere to their religion and the Muslims to theirs. Excepting religious matters, the Muslims and the Jews shall be regarded as belonging to à single party. Anyone from among them who commits an outrage or breaks à promise or is guilty of à crime shall deserve punishment for his crime.

28. The Jews of Banu an-Naj jar, who are à party to this agreement and who are supporters of the Muslims, shall adhere to their religion and the Muslims to theirs. Excepting religious matters, the Muslims and the Jews shall be regarded as belonging to a single party. Anyone from among them who commits an outrage or breaks à promise or is guilty of à crime shall deserve punishment for his crime.

29. The Jews of Banu al-Harith, who are a party to this agreement and who are supporters of the Muslims, shall adhere to their religion and the Muslims to theirs. Excepting religious matters, the Muslims and the Jews shall be regarded as belonging to à single party. Anyone from among them who commits an outrage or breaks à promise or is guilty of a crime shall deserve punishment for his crime.

30. The Jews of Banu Sa’idah, who are à party to this agreement and who are supporters of the Muslims, shall adhere to their religion and the Muslims to theirs. Excepting religious matters, the Muslims and the Jews shall be regarded as belonging to a single party. Anyone from among them who commits an outrage or breaks à promise or is guilty of a crime shall deserve punishment for his crime.

31. The Jews of Banu Hashm, who are à party to this agreement and who are supporters of the Muslims, shall adhere to their religion and the Muslims to theirs. Excepting religious matters, the Muslims and the Jews shall be regarded as belonging to à single party. Anyone from among them who commits an outrage or breaks à promise or is guilty of à crime shall deserve punishment for his crime.

32. The Jews of Banu al-Aus, who are à party to this agreement and who are supporters of the Muslims, shall adhere to their religion and the Muslims to theirs. Excepting religious matters, the Muslims and the Jews shall be regarded as belonging to à single party. Anyone from among them who commits an outrage or breaks a promise or is guilty of a crime shall deserve punishment for his crime.

33.  The Jews of Banu Tha’alabah, who are à party to this agreement and who are the supporters of the Muslims, shall adhere to their religion and the Muslims to theirs. Excepting religious matters, the Muslims and the Jews shall be regarded as belonging to à single party. Anyone from among them who commits an outrage or breaks a promise or is guilty of à crime shall deserve punishment for his crime.

34. The Jews of Banu Jafnah, who are à party to this agreement and who are supporters of the Muslims, shall adhere to their religion and the Muslims to theirs. Excepting religious matters, the Muslims and the Jews shall be regarded as belonging to a single party. Anyone from among them who commits an outrage or breaks a promise or is guilty of à crime shall deserve punishment for his crime.

35. The Jews of Banu al-Shotaybah, who are à party to this agreement and who are supporters of the Muslims, shall adhere to their religion and the Muslims to theirs. Excepting religious matters, the Muslims and the Jews shall be regarded as belonging to à single party. Anyone from among them who commits an outrage or breaks a promise or is guilty of à crime shall deserve punishment for his crime.

36. The subordinate branches of the above-mentioned tribes shall have the same rights as are enjoyed by the parties themselves.

37. None of the parties to the treaty shall take any military action out the permission of Mohammed.

38. No hindrance shall be created in the requital of an injury. Whoever commits à breach of promise shall deserve punishment for it, and Allah will help whoever abides faithfully by this agreement.

39. If a third community wages war against the Muslims or the Jewish treaty makers, they will have to fight united. They shall help each other, and there shall be goodwill and faithfulness between them. The Jews shall bear their expenses of war and the Muslim their expenses.

40. It is incumbent on the parties to the agreement to treat each other sincerely and to wish each other well. None shall subject any other to oppression or injustice, and the oppressed shall be helped.

41. The Jews shall share the expenses along with the Muslims as long as they fight jointly.

42. The plain of Yathrib, which is surrounded by hills, shall be a haram for the partners to the treaty.

43.        The same treatment to which à person giving refuge is entitled shall be given to the one seeking refuge with him; he shall not be harmed. À refugee shall abide by this agreement and shall not be permitted to break à promise.

44. No one shall be provided refuge without the permission of the people of that place.

45. If there is any occurrence or difference of opinion among the parties to the treaty that might result in a breach of peace, the matter shall be referred for a decision to Allah and Mohammed, the Prophet of Allah. Allah will be with the one who carefully observes this treaty.

46. None shall provide protection to the Quraysh of Mecca or to any of their allies.

47. If Yathrib (Madinah) is invaded, the Muslims and the Jews shall put up à joint defense.

48. If the Muslims make à peace treaty with someone, the Jews shall abide by it. If the Jews make peace with someone, it shall be obligatory on the Muslims to extend similar cooperation to the Jews. However, in the case of a religious war of a party, it shall not be the responsibility of the other party to participate.

49. In the case of an invasion of Madinah, every party will have to defend the area that is in front of it.

50. The allies of the tribe of Banu al-Aus shall have the same rights as are enjoyed by the parties to this treaty, provided they too show their loyalty. Allah is the supporter and helper of whoever faithfully observes this treaty.

51. If any of the parties to this treaty has to leave Madinah on account of the exigencies of war, that party shall be entitled to peace and protection; whoever stays in Madinah shall also be entitled to peace. No one shall be oppressed nor shall breach of promise be permissible. Allah and His Prophet are the protectors of whoever respects and abides by this agreement.

_________________________________________________________________________
Delapan visi serambi madinah

1. Agama adalah anugerah Allah Swt untuk membimbing para hamba-Nya agar mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Nikmat dan rahmat Allah swt amat banyak telah dilimpahkan pada hamba-Nya, maka haruslah disyukuri dan digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dan diridhoi-Nya.
3. Menyadari bahwa kehidupan ini adalah kelanjutan dari suatu proses yang telah berjalan panjang, maka disamping menghargai jasa-jasa dan prestasi para pendahulu kita jugaharus melanjutkan dan mengembangkanaya secara kreatif sebagai amanat amal jariyah.
4. Menyadari akan keterbatasan setiap manusia maka mewujudkan generasi pelanjut yang lebih berkualitas adalah suatu keharusan yang tidak boleh diabaikan.
5. Untuk mewujudkan kehidupan yang berkualitas, maka kebodohan dan keterbelakangan harus diperangi ; oleh karena itu pendidikan mempunyai arti penting yang mutlak, baik pendidikan formal , informal, maupun non formal.
6. Sebagai masyarakat yang berbudaya adhiluhung, maka faktor formal dan akhlaqul karimah menjadi bingkai utama yang kokoh dan tegas dalam tatanan kedupan sehari-hari.
7. Agar tidak menjadi beban pihak lain dan demi menjaga muru’ah (harga diri), maka jiwa adhiluhung mengharuskan setiap pribadi memiliki penuh semangat dalam bekerja, berprestasi dan berjasa, tanpa mengabaikan tugas-tugas ritual keagamaan.
8. Sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dalam menuaikan tugas dan kehidupan, maka dalam pergaulan harus saling menghormati, membantu , rukun dan tenggang rasa.

Sepuluh Semangat Serambi Madinah

1. Taqwa dalam beragama.
2. Rukun dan hormat serta gotong royong dalam bermasyarakat.
3. Bersikap ramah dan sopan dalam bergaul.
4. Hidup dengan landasan ilmu dan penuh ‘amal serta pengabdian.
5. Mewujudkan keluarga yang harmonis dalam mawadah dan rahmah.
6. Mempersiapkan keturunan (anak cucu) sebagai generasi pelanjut yang lebih berkualitas.
7. Nguri-uri nilai-nilai lama yang bermanfa’at dan mengembangkannya secara selektif, sekaligus kreatif dan innovatif.
8. Menghargai jasa para pendahulu / leluhur dan meneladaninya, serta menghargai setiap prestasi yang bermanfaat bagi kehidupan.
9. Membangun karakter dan moral masyarakat dengan amar ma’ruf nahi munkar secara bermartabat.
10. Etos kerja yang tinggi untuk mencapai prestasi dalam bingkai tawakkal dan do’a.

 

Referensi:

1. http://serambimadina.wordpress.com/piagam-madinah/
2. "Muhammad", Encyclopedia of Islam Online
3. Watt. Muhammad at Medina and R. B. Serjeant "The Constitution of Medina." Islamic Quarterly 8 (1964) p.4.
4. Sh. Muhammad Ashraf. The First Written Constitution in the World. Lahore: 1968. First published in England, 1941. Translated by Frederic G. Kenyon, Internet: The Avalon Project, 1996.
5. The New Encyclopaedia Britannica, 15th Edition, 1991.
6. The First Written Constitution in the World, p. 9. The translation of the whole text for A. Guillaume's Life of Muhammad is appended at the end.
7. “There shall be no compulsion in religion: the right way is now distinguished from the wrong way.” (2:256) Note that this statement of complete religious freedom comes immediately after the grandest statement of God's power to be found in any scripture. It is indeed significant!
8. Guillaume, A. The Life of Muhammad -- A Translation of Ishaq's Sirat Rasul Allah. Karachi: Oxford University Press, 1955.
9. http://www.syariahonline.com7. Menurut riwayat Ibnu Ishaq dalam bukunya Sirah an-Nabi SAW juz II hal 119-123, dikutip Ibnu Hisyam (wafat : 213 H.828 M). Disistematisasikan ke dalam pasal-pasal oleh Dr. AJ Wensinck dalam bukunya Mohammad en de Yoden le Medina (1928), pp.74-84, dan W Montgomery Watt dalam bukunya Mohammad at Medina (1956), pp. 221-225

10. The First Written Constitution in the World, Sh. Muhammad Ashraf, Lahore, 1968. First published in England, 1941.
11. Translated by Frederic G. Kenyon, Internet. !996 The Avalon Project.
12. The New Encyclopaedia Britannica, 15th Edition, 1991.
13. The First Written Constitution in the World, p. 9. The translation of the whole text for A. Guillaume’s Life of Muhammad is appended at the end.
14. Ibid., pp. 19-20.
15. The New Encyclopaedia Britannica, 15th Edition, 1991.
16. The First Written Constitution, p. 18.
17. Quran, 49:13.
18. Ibid., pp. 12-13.
19. “There shall be no compulsion in religion: the right way is now distinguished from the wrong way.” (2:256) Note that this statement of complete religious freedom comes immediately after the grandest statement of God’s power to be found in any scripture. It is indeed significant!
20. This text is taken from A. Guillaume, The Life of Muhammad — A Translation of Ishaq’s Sirat Rasul Allah,
Oxford University Press, Karachi, 1955; pp. 231-233. Numbering added.

 

“Ngupi” Secangkir di Hari Minggu (Dilarang Merokok)

Terbangun aku dari tidur, mendengar anakku yang baru berumur 14 bulan tertawa. Kulihat jam di dinding kamar, sudah jam 6.30 pagi. Masih terasa berat mata ini, tapi aku harus bangun dan mandi untuk mengantarkan anakku yang pertama ke sekolahnya, oh... ternyata dia masih tertidur pulas. Aku keluar kamar menuju ruang keluarga. Disana aku melihat istriku sedang menyuapi anakku. Kulayangkan pandanganku ke televisi yang sedang memutar film anak-anak, oh... ternyata ini adalah hari Minggu pantas saja anakku yang pertama masih tertidur pulas.Secangkir "kupi" telah tersedia disampingku dan tidak lupa lengkap dengan jajanan pasar untuk sarapan pagi. Ku"sruput"... uuueeennnaaakkk tenan...!!!, segeralah rasa itu berkecamuk dimulut dan dikerongkonganku. Pahit, manis, gurih, terkadang ada sedikit rasa asam.

Ya, aku memang penggemar "kupi" tetapi aku bukanlah perokok. Tidak ada sejarah penyakit ataupun larangan dokter kepadaku untuk tidak merokok. Karena bagiku merokok hanya akan merusak kesehatan dan segala sesuatu yang merusak nikmat dan rejeki dari Allah adalah HARAM untuk dikonsumsi.Tidak berapa lama bangunlah anakku yang pertama dari tidurnya dan memintaku untuk memindahkan channel televisi kesebuah stasiun yang menyiarkan film anak-anak. Kuberikan saja remote televisi kepadanya, supaya dia bisa sendiri memilih film yang dia sukai. Itulah aku, aku selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk anakku. Aku berharap dia dan adiknya bisa menikmati masa kecilnya dengan bahagia tanpa merasa kekurangan sesuatu apapun. Tentu saja tanpa mengabaikan pendidikan, disiplin, sopan-santun, dan bertoleransi terhadap sesamanya.


Ya, setelah engkau menikmati indahnya masa kanak-kanakmu kelak engkau juga akan merasakan "ngupi" secangkir seperti bapakmu ini. Tapi ingatlah pesan bapakmu ini, belilah "kupi"mu dengan uang hasil keringatmu sendiri, jangan membuat susah orang lain, supaya rasa "kupi" mu yang pahit tetap nikmat dan tidak membuat hidupmu pahit, tambahkan sedikit gula dan jangan terlalu banyak, supaya engkau tidak terjebak didalam manisnya kehidupan yang fana ini. Jika engkau memiliki uang lebih bolehlah tambahkan susu kedalam "kupi"mu, supaya engkau tetap mendapatkan gizi yang berguna didalam "kupi"mu dan bermanfaat bagi orang lain.

Tontonlah acara telivisi yang berguna dan menghiburmu, semangatlah belajar, manfaatkan waktumu sebaik mungkin, pandai-pandailah bermain dengan teman-temanmu. Karena itu semua akan membuat kailmu menjadi kuat dan engkau akan mendapatkan ikanmu sendiri di kemudian hari.

*** Artikel ini sudah pernah dipublikasikan pada KOMPASIANA, 31/01/2010 11:31

Friday, February 3, 2012

Syekh Abdul Qadir Jaelani

Sayyidul Auliya' Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan Iran, selatan Laut Kaspia pada 470 H/1077 M sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab الذيل على طبق الحنابلة Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali.

Kelahiran, Silsilah dan Nasab

Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani Amoli. Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama[1]. Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a sebagi berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu"[1]. Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut : Dari Ayahnya(Hasani)[1]:
Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam
Dari ibunya(Husaini)[1] : Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam

Masa Muda

Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.

Murid

Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqih terkenal al Mughni.

Perkataan Ulama tentang Beliau

Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).

Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu."

Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.

Tentang Karamahnya

Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri' Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).

"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."

Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja'far al Adfwi (nama lengkapnya Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi'i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).

Karya

Imam Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah."
Karya karyanya [1] :
  1. Tafsir Al Jilani
  2. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
  3. Futuhul Ghaib.
  4. Al-Fath ar-Rabbani
  5. Jala' al-Khawathir
  6. Sirr al-Asrar
  7. Asror Al Asror
  8. Malfuzhat
  9. Khamsata "Asyara Maktuban
  10. Ar Rasael
  11. Ad Diwaan
  12. Sholawat wal Aurod
  13. Yawaqitul Hikam
  14. Jalaa al khotir
  15. Amrul muhkam
  16. Usul as Sabaa
  17. Mukhtasar ulumuddin
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.

Ajaran-ajaranya

Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi".

Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.)

Awal Kemasyhuran

Al-Jaba'i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, "Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum]].

Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, "Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.

Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.

Hubungan Guru dan Murid

Syeikh Abdul Qadir berkata, "Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya."
  1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
  2. Dua karakter dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam yaitu penyayang dan lembut.
  3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
  4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma'ruf nahi munkar.
  5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
  6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan:
"Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan."

Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat zhahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.

Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.

Syeikh Abdul Qadir berkata, "Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut".

Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.

Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.

Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. `

Source: http://id.wikipedia.org/wiki/Syekh_Abdul_Qadir_Jaelani