Sunday, June 14, 2009

Indonesia: Etimologi dan Budaya (Belajar menelaah kembali PANCASILA)

Mas Agus - Sebenarnya tulisan ini sudah pernah diposting di http://public.kompasiana.com/2009/07/31/indonesia-etimologi-dan-budaya-belajar-menelaah-kembali-pancasila-3/, tetapi saya kembali memposting tulisan ini didalam blog pribadi saya, dengan harapan lebih banyak orang yang mengetahui tentang idiologi kita Pancasila.

Negara ini bernama Indonesia, begitulah jawabannya apabila ada orang asing tersesat dan menanyakan kepada penduduk. Terlepas dari mereka bisa membaca atau tidak, bisa berhitung atau tidak, rakyat jelata atau kaum intelek . Kesimpulannya, setiap manusia yang tinggal di negara ini tahu bahwa negara ini bernama Indonesia.
Tetapi ketika seseorang bertanya apakah arti Indonesia?, siapa yang memberi nama negara ini Indonesia? Saya yakin mulai dari anak kecil sampai orang tua banyak yang lupa atau bahkan tidak mengetahuinya. Ironis memang, kita lahir, tinggal, mencari rejeki, beranak pinak atau mungkin merusak alamnya, tetapi kita tidak mengetahui apa dan bagaimana Indonesia ini. Kalau saya menanyakan kepada mereka mengapa tidak tahu, mereka menjawab “Jangankan memikirkan asal-usul Indonesia, kita mencari rejeki untuk makan tiap hari saja susahnya minta ampun…”, jawaban yang tidak mengada-ada buat saya. Sayapun demikian sudah banyak pelajaran sejarah Indonesia yang saya terima waktu disekolah dulu dan saat ini hanya tinggal bayang-bayang kelabu, yang kian hari kian memudar. Tetapi itulah tantangan untuk saya sebagai orang tua 2 anak, saya harus tetap mengingat sejarah akan bangsa ini. Supaya ketika suatu hari nanti anak-anak saya bertanya tentang Indonesia saya bisa memberikan cerita yang ilmiah kepada mereka. Supaya mereka tidak usah jauh-jauh bersekolah keluar negeri hanya untuk mengetahui asal-muasal negaranya.

Memang Indonesia ini unik dengan segala isinya. Didalam Wikipedia saya mendapatkan kata “Indonesia” berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu Indus yang berarti “India” dan kata dalam bahasa Yunani nesos yang berarti “pulau”. Jadi, kata Indonesia berarti wilayah India kepulauan, atau kepulauan yang berada di India, yang menunjukkan bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat. Pada tahun 1850, George Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris, awalnya mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk “Kepulauan India atau Kepulauan Melayu”. Murid dari Earl, James Richardson Logan, menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India. Namun, penulisan akademik Belanda di media Hindia Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indië), atau Hindia (Indië); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 oleh novel Max Havelaar (1859), ditulis oleh Multatuli, mengenai kritik terhadap kolonialisme Belanda).

Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkaran akademik diluar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik. Adolf Bastian dari Universitas Berlin mempopulerkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884-1894. Pelajar Indonesia pertama yang menggunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yaitu ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers-bureau di tahun 1913. Informasi lengkap lihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia

Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis, tiap etnis memiliki budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, dan Eropa, termasuklah kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda. Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatra seperti tari Ratéb Meuseukat dan tari Seudati dari Nanggroe Aceh Darussalam.

Seni pantun, gurindam, dan sebagainya dari pelbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan, pentas seni, dan lain-lain.

Di bidang busana warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri batik meliputi Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Pandeglang, Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Kerajinan batik ini pun diklaim oleh Malaysia dengan industri batiknya. Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju kurung dengan songketnya dari Sumatra Barat (Minangkabau), kain ulos dari Sumatra Utara (Batak), busana kebaya, busana khas Dayak di Kalimantan, baju bodo dari Sulawesi Selatan, busana berkoteka dari Papua dan sebagainya.

Pengaruh yang paling dominan dalam arsitektur Indonesia adalah arsitektur India; namun terdapat pula pengaruh dari arsitektur Tiongkok, Arab, dan Eropa.

Setiap provinsi di Indonesia memiliki musik tradisional dengan ciri khasnya tersendiri. Musik tradisional termasuk juga keroncong yang berasal dari keturunan Portugis di daerah Tugu, Jakarta, yang dikenal oleh semua rakyat Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Ada juga musik yang merakyat di Indonesia yang dikenal dengan nama dangdut yang dipengaruhi oleh musik Arab, India, dan Melayu.

Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman mahluk hidup yang tinggi sehingga oleh beberapa pihak wilayah ekologi Indonesia disebut dengan istilah “Mega biodiversity” atau “keanekaragaman mahluk hidup yang tinggi” umumnya dikenal sebagai Indomalaya atau Malesia bedasarkan penelitian bahwa 10 persen tumbuhan, 12 persen mamalia, 16 persen reptil, 17 persen burung, 25 persen ikan yang ada di dunia hidup di Indonesia, padahal luas Indonesia hanya 1,3 % dari luas Bumi. Kalo dirangking, kekayaan mahluk hidup Indonesia ranking ke-3 setelah Brasil dan Zaire. Untuk lebih lengkapnya lihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia

Saya jadi ingin bertanya lagi, dengan demikian pluralnya Indonesia ini sehingga kita disebut “Mega biodiversity” oleh beberapa kalangan, apakah ada bangsa ini menyadarinya?

Sebagai seorang nasionalis, saya bangga, mengacungkan kedua ibu jari saya kepada “The Founding Father” Indonesia ini. Mereka ini yang dengan begitu arif dan bijaksana memikirkan alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia dari keberagaman, kompleksitas, dan pluralitas. Lahirlah PANCASILA pada tanggal 1 Juni 1945. Saya bisa memahami mengapa PANCASILA bisa menjadi alat pemersatu bangsa yang sedemikian pluralnya. Karena didalam sila-sila yang terdapat didalamnya tidak ada satupun yang menjadi dasar kepentingan golongan, suku, ras, dan agama. Semuanya adalah dasar, pondasi yang kokoh yang bisa dipergunakan oleh setiap individu manapun untuk hidup bermasyarakat dan berbangsa di negara ini. PANCASILA adalah satu-satunya ideologi yang dapat mengakomodir keragaman (pluralisme) di Indonesia ini.

Bangsa ini hanya perlu mengeksploitasi pemahaman terhadap sila-sila yang terdapat didalam PANCASILA seluas-luasnya untuk kepentingan negara diatas kepentingan kelompok, suku, ras, bahasa ataupun agama. Didalam Undang-Undang Dasar 45 yang menjadi landasan hukum bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia menyebutkan bahwa kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia adalah berkat rakhmat Allah dan bukan atas dukungan ataupun pemberian negara atau kelompok manapun.

Anda akan menemukan bagaimana PANCASILA yang didukung UUD’45 sebagai landasan hukum benar-benar mengakui Hak Asasi Manusia, memberikan cara hidup bertoleransi yang benar kepada agama dan kepercayaan orang lain, menghargai eksistensi dan karya orang lain, dan sebagainya.

Akhir-akhir ini hati saya merasa gundah-gulana, galau, marah, semarah-marahnya dan terhina, karena saya terlambat mengetahuinya. Tetapi saya tidak dapat berbuat apa-apa, saya hanya rakyat biasa yang tinggal disebuah desa kecil di daerah Karawang. Bagaimana tidak melihat hasil musyawarah ulama Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005, disana dikatakan bahwa pluralitas dan sekuleritas adalah HARAM bagi agama Islam. Padahal sejak jaman Majapahit ketika Maha Patih Gadjah Mada mengucapkan sumpahnya untuk mempersatukan wilayah Nusa-Antara ini, sudah terjadi pluralitas dan sekuleritas di Indonesia. Singkatnya Indonesia ini terjadi karena adanya pluralitas dan sekuleritas.

Saya bertanya didalam hati “yang bodoh siapa sebenarnya dan mengapa harus diberikan fatwa seperti itu”. Kalau memang mereka tahu bahwa Indonesia ini HARAM karena pluralismenya dan sekuleritasnya, mengapa mereka masih tinggal disini. Saya tahu banyak kasus pencurian dikarenakan oleh alasan ekonomi dan demi mengganjal perut lapar, apakah para ulama seperti mereka. Atau apakah ini Bentuk penjajahan baru yang akan dijalankan di Indonesia? Bagi saya yang nasionalis ini adalah fatwa seperti itu merupakan sebuah pemaksaaan dan pemaksaan fatwa adalah salah satu bentuk penjajahan idiologi kepada bangsa ini. Bahkan para wali yang terkenal dengan Wali Songo tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang dapat menyakitkan rakyat Indonesia waktu itu dan bahkan tidak menutup kemungkinan Islam tidak dapat diterima oleh penduduk setempat pada waktu itu.

Sebagai contoh, karena didalam agama Islam babi diharamkan maka saya tidak menyentuhnya apalagi memakannya, tegasnya saya menghindarinya. Mengapa para ulama tidak bisa memberi contoh seperti ini? Bagi saya ini adalah suatu kemunafikan, bagaimana tidak jika seseorang melecehkan orang lain dengan perkataan HARAM (Dosa besar jika dijalankan), tetapi dia masih makan, minum, dan mencari nafkah dirumahnya atau bahkan mencuri. Ini bukanlah bentuk toleransi yang baik bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Saya tidak tahu apakah ada negara yang apabila kita hendak menjadi warga negaranya tidak perlu mengucapkan sumpah setia untuk mengikuti hukum dan idiologi negara tersebut. Saya rasa tidak ada, termasuk di Indonesia.

Sudah seharusnya pemerintah memberikan ketegasan hukum didalam berkehidupan demokrasi ini, demokrasi adalah kebebasan hak asasi manusia, tetapi apabila demokrasi dijalankan tidak pada koridor hukum yang berlaku demokrasi akan menjadi demokrasi liberal, kasarnya “kebablasan”. Mengapa demikian? Karena hak asasi adalah hak mutlak yang dimiliki oleh seseorang sejak lahir, setiap orang memilikinya dan tidak pandang bulu, mau kaya, miskin, tinggal di kolong jembatan atau di istana. Tetapi harus disadari bahwa hak asasi seseorang juga dibatasi oleh hak asasi orang lain, disinilah diperlukannya koridor hukum yang mengatur penggunaan hak asasi seseorang. Saya yakin tidak akan tercapai kedamaian jika seseorang memaksakan hak asasinya kepada orang lain.

Agama adalah hak asasi manusia yang hakiki dan itu akan dipertanggungjawabkan secara individu pula kepada Allah SWT. Tidak pula ulama bisa mencampuri pertanggungjawaban itu secara fatwa atau musyawarah kelompok.

Kekacauan dan ketidakmakmuran di Indonesia bukanlah disebabkan oleh Idiologi PANCASILA. Itu semua disebabkan oleh satu kata “HUKUM”. Ketidaktaatan kepada hukum menimbulkan banyak kesenjangan, korupsi, pencurian kayu, pengelolaan sumberdaya alam yang tidak sistematis dan tidak sesuai dengan porsinya, KKN, dan lain sebagainya. Jangan pernah berpikir dengan agama yang sama kita bisa hidup damai, di Indonesia ini notabene 85% adalah mayoritas Islam. Pada dasarnya manusia adalah makhluk individu yang dengan akal dan pikirannya hidup bersosialisasi.

Saya merindukan Indonesia yang damai, tentram, dan makmur seperti ketika nenek moyang saya masih hidup. Ketika “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Saya ingin Indonesia berjaya seperti dulu lagi dengan satu asas PANCASILA dan berlandaskan hukum UUD’45. BHINEKA TUNGGAL IKA.

No comments:

Post a Comment